تعلّم العربيّة فإنها نصف دينكم Belajarlah bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah separuh Agamamu

Selasa, 17 Desember 2013

Hari Bahasa Arab Sedunia


Mungkin banyak yang belum tahu bahwa hari ini merupakan hari bahasa Arab sedunia. Tepatnya pada 18 Desember 1973, bahasa Arab resmi terdaftar menjadi bahasa Internasional oleh UNESCO.
Hal ini mengantarkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi ke-6 yang digunakan di PBB, di samping bahasa resmi yang lain. Atas inisiatif Arab Saudi dan Maroko, dijadikanlah 18 Desember sebagai tanggal bersejarah yaitu sebagai hari bahasa Arab sedunia.
Sebagai bahasa dunia, bahasa Arab tidak lagi identik sebagai bahasa bagi umat Islam semata. Bahasa Arab telah dikenal di kalangan dunia internasional dan banyak digunakan dalam berbagai kajian sosial, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan. Ada sekitar 280 juta jiwa penutur asli Bahasa Arab, yang tersebar di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Sebagai bangsa Indonesia kita patut berbangga, karena bahasa Arab dijadikan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah dan sejumlah universitas, yang berada di bawah naungan Kementerian Agama maupun  kementerian Pendidikan.
Namun, meski menjadi mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah dan universitas, hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Hasil perolehan bahasa arab di sebagian lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi masih rendah. Selain itu, suasana dan tradisi berbahasa Arab masih jarang ditemukan di lembaga pendidikan. Dalam berbagai forum dan seminar, baik nasional maupun internasional, hal ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan ahli sosiolinguistik, pengembang pendidikan, instruktur, dosen dan guru bahasa Arab.
Selama ini terkesan bahasa arab adalah bahasa yang sulit dan rumit untuk dipelajari. Dalam ilmu linguistik sendiri, sebenarnya  setiap bahasa memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan yang berbeda-beda. Perbedaan ini tergantung pada karakteristik bahasa itu sendiri, baik dari segi fonologi, morfologi maupun sintaksis dan semantiknya.
Misalnya, pelafalan beberapa kata dalam bahasa Inggris dan Prancis yang dianggap sulit, karena pengejaannya banyak berbeda atau tidak konsisten dengan bentuk tulisannya. Ditambah lagi dengan adanya bentuk tulisan yang sama dalam kosakata yang berbeda, dibaca atau dieja secara berlainan.
Pencitraan negatif atau stigma bahasa Arab sebagai bahasa yang sulit dan rumit dipelajari, sesungguhya tidak sepenuhnya benar. Hal ini terbukti bahwa yang menguasai bahasa Arab bukan hanya orang Arab. Banyak non-Arab dan sarjana non-muslim yang menekuni studi bahasa Arab, karena dianggap menarik dan sangat penting.
Pengesanan dan pencitraan negatif tentang rumitnya bahasa Arab sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis bagi yang mempelajarinya. Keadaan ini sesungguhnya sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam dan dunia pendidikan Islam, khususnya pendidikan bahasa Arab. Sebab bagaimana efektif pembelajaran bahasa Arab apabila stigma negatif itu terus menghantui orang yang ingin mempelajarinya.
Hasil penelitian Fathi Ali Yunus di Mesir  (1997) menunjukkan bahwa hampir semua responden (mahasiswa) yang ditanyai tentang persepsi mereka terhadap studi bahasa Arab, menjawab sulit.
Kemudian ketika ditanya lebih lanjut, bagaimana Anda dapat menyatakan bahwa bahasa Arab itu sulit dipelajari, mereka menjawab, “Banyak orang berpendapat demikian, masyarakat sudah telanjur mempunyai keyakinan bahwa bahwa bahasa Arab itu sulit dipelajari meski dilakukan selama puluhan tahun”.
Penelusuran yang dilakukan oleh Fathi Yunus sampai pada kesimpulan bahwa kesan, pandangan, dan pencitraan negatif terhadap bahasa Arab mulai muncul pada akhir abad ke-19, seiring dengan kolonialisasi Barat ke dunia Islam. Bahkan, pada awal abad ke-20 seruan perlunya penggantian bahasa Arab fusha (bahasa ragam formal) dengan bahasa ammiyah (bahasa ragam informal) bergaung di Mesir.
Dalam hal ini tepatlah kiranya apa yang dikemukakan oleh pakar bahasa Arab UIN Jakarta Muhbib Abdul Wahab yang mengatakan,  sesungguhnya pencitraan negatif terhadap bahasa Arab merupakan bagian tak terpisahkan dari perang budaya (Arab: al-ghazwu al-tsaqafi), yang sengaja dilancarkan oleh kolonialis/imprealis Barat dengan tujuan agar umat Islam menjauhi Alquran karena tidak memahami bahasanya.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathi Yunus, penulis pernah melakukan penelitian tentang pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah di tiga kabupaten kota.
Dari hasil penelitian tersebut didapati 65 persen siswa tidak tertarik dengan pelajaran bahasa Arab, dan menjadikannya mata pelajaran yang paling tidak diminati siswa dibanding bahasa Inggris dan Indonesia.
Menurut hemat penulis ada beberapa alasan yang mendasari bahasa Arab kurang diminati. Di antaranya; Pertama, masalah buku ajar atau buku teks. Dari sisi substansi atau materi yang diajarkan sangat tidak bersahabat dan tema-temanya jauh dari pengalaman nyata siswa, atau kurang membumi (down to earth), dan lebih berbasis pada kehidupan ukhrowi.
Padahal, semestinya mengajarkan bahasa itu melalui apa yang hidup dengan diri kita sehari-hari. Penelitian Brain (2000) menunjukkan bahwa kita belajar dengan baik, apabila kita memperoleh makna dari tugas dan materi pelajaran yang baru. Kita dapat menemukan makna apabila kita mampu menghubungkan informasi baru antara pengetahuan dengan pengalaman.
Demikan pula siswa akan dapat belajar dengan baik serta dapat menghubungkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (Johnson, 2005).
Kedua, kualifikasi guru bahasa Arab kurang memenuhi standar  profesional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya guru bahasa Arab yang tidak memiliki latar belakang sarjana pendidikian bahasa Arab. Data yang dikeluarkan Kementerian Agama menunjukkan bahwa 30 persen guru yang ada di madrasah tidak memenuhi syarat sebagai guru profesional, termasuk guru bahasa Arab. Mereka umumnya hanya lulusan SLTA/PGA atau D1.
Data lain menunjukkan, 52,7 persen guru di MA, termasuk guru bahasa Arab tidak memiliki spesialisasi yang tepat. Maka apabila sebagian besar guru bahasa Arab di sekolah tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Arab, dapatkah hal tersebut menumbuhkan minat siswa untuk mempelajari bahasa Arab atau sebaliknya.
Ketiga, metode yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Arab kurang bervariatif. Ada kecenderungan guru melakukan pembelajaran dengan metode-metode klasik konvensional.
Misalnya, metode tata bahasa-terjemah (Thariqah al-Qawaid wa at-tarjamah). Alih-alih menggunakan metode-metode lain, seperti metode langsung (Ath-Thariqah al-Mubasyiroh), metode alamiah (Ath-Thariqah Al-Insaniyah At-Tabaiyyah), metode komunikatif (Ath-Thariqah Al-Ittishaliyyah).
Memang dari sekian banyak metode, maka metode tata bahasa terjemah lebih mudah diimplementasikan, karena guru diperkenankan menggunakan bahasa ibu atau bahasa nasional sebagai alat komunikasi di kelas.
Keempat, pengabaian penggunaan media pembelajaran, baik elektronik maupun non-elektronik. Media pembelajaran memang bukan tujuan, tetapi sebagai alat (Shini, 1984). Meski demikian, penggunaan media mempunyai andil yang cukup besar untuk meningkatkan hasil belajar dan minat siswa.
Terlepas dari persepsi dan hasil penelitian tersebut, sesungguhnya akar persoalan kerumitan studi bahasa Arab itu bukan semata-mata terletak pada faktor psikologis dan pencitraan semata, melainkan juga pada persoalan metodologis.
Faktor lain yang sangat penting adalah berkaitan dengan bagaimana substansi itu dipilh, dikemas dan ditransformasikan kepada peserta didik, sehingga dapat dipahami dan dipraktikkan secara efektif dan efisien. (*)
Read more: http://www.impoint.info/2013/03/cara-membuat-auto-readmore-di-blog.html#ixzz2pjGSwV9l Dilarang copy paste artikel tanpa menggunakan sumber link - DMCA Protected Follow us: @ravdania on Twitter | pemakan.worell on Faceboo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar